Sinar Harapan
31/8/2003
Sejumlah akademisi, praktisi praktisi hukum, dan pemerhati masalah hukum tergabung dalam Forum Masyarakat untuk Peradilan Bersih, mendesak DPR merevisi Undang-Undang KY. Desakan sama disurakan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendorong DPR agar memperluas kewenangan KY mengawasi hakim.
”Mahkamah Konstitusi telah menghambat reformasi hukum,” kata Ketua Forum Ervyn Kaffah di Gedung DPD, Jakarta, Rabu.
Jakarta–Badan Legislasi (Baleg) DPR akan memprioritaskan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY). Namun, waktu pembahasannya masih menunggu hasil kajian akademis maupun empiris yang dilakukan oleh Baleg.
Jika hasil kajian itu menyimpulkan bahwa revisi terhadap UU KY merupakan tindakan yang mendesak, Baleg akan memutuskan untuk memasukkan RUU KY untuk dibahas pada tahun ini.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Golongan Karya (FPG) Bomer Pasaribu ketika dihubungi SH, Kamis (31/8). “Pimpinan Baleg dan anggota saat ini sedang melakukan kajian akademis dan empiris sebagai implikasi dari putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Sementara ini, kita arahkan pada revisi UU KY, tapi karena ada kaitan dengan UU MK dan Kehakiman, kita lakukan kajian,” katanya.
Dia menyatakan ke depan ada tiga kemungkinan yang akan diambil oleh Baleg untuk membenahi UU KY sesuai dengan kebutuhan. Kemungkinan itu adalah revisi UU KY yang disesuaikan dengan kebutuhan, revisi UU MK dan revisi Kehakiman secara tersendiri. Khusus untuk pengawasan KY, dalam revisi nanti akan diatur secara perinci untuk menghindari adanya multitafsir. “Atau mungkin tiga-tiganya sekaligus karena saling terkait. Jadi, ini revisi terhadap UU yudikatif,” ujarnya.
Panggil MK dan KY
Menurutnya, revisi terhadap UU MK sendiri akan dilakukan untuk mengembalikan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. MK hanya sebagai penjaga konstitusi.
Dengan demikian, tidak ada sebuah lembaga yang lebih tinggi dari konstitusi itu sendiri. “Demokrasi kita, demokrasi konstitusi. Tidak ada lembaga apapun di atas konstitusi. Jangan sampai ada pergeseran,” paparnya.
Keputusan MK terhadap UU KY sendiri menjadikan dasar Komisi III DPR untuk mengundang KY dan MK masing-masing pada rapat kerja yang berbeda, tanggal 5 September dan MK pada 12 September mendatang.
”Jika tidak ada halangan pada 12 September rapat dengar pendapat dengan MK bisa digelar di DPR,” kata Wakil Ketua Komisi III Djuhad Madja.
Sementara itu, sejumlah akademisi, praktisi praktisi hukum, dan pemerhati masalah hukum tergabung dalam Forum Masyarakat untuk Peradilan Bersih, mendesak DPR merevisi Undang-Undang KY. Desakan sama disurakan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendorong DPR agar memperluas kewenangan KY mengawasi hakim.
”Mahkamah Konstutusi telah menghambat reformasi hukum,” kata Ketua Forum Ervyn Kaffah di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (30/8).
(ant/rikando somba/tutut herlina)
31/8/2003
Sejumlah akademisi, praktisi praktisi hukum, dan pemerhati masalah hukum tergabung dalam Forum Masyarakat untuk Peradilan Bersih, mendesak DPR merevisi Undang-Undang KY. Desakan sama disurakan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendorong DPR agar memperluas kewenangan KY mengawasi hakim.
”Mahkamah Konstitusi telah menghambat reformasi hukum,” kata Ketua Forum Ervyn Kaffah di Gedung DPD, Jakarta, Rabu.
Jakarta–Badan Legislasi (Baleg) DPR akan memprioritaskan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY). Namun, waktu pembahasannya masih menunggu hasil kajian akademis maupun empiris yang dilakukan oleh Baleg.
Jika hasil kajian itu menyimpulkan bahwa revisi terhadap UU KY merupakan tindakan yang mendesak, Baleg akan memutuskan untuk memasukkan RUU KY untuk dibahas pada tahun ini.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Golongan Karya (FPG) Bomer Pasaribu ketika dihubungi SH, Kamis (31/8). “Pimpinan Baleg dan anggota saat ini sedang melakukan kajian akademis dan empiris sebagai implikasi dari putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Sementara ini, kita arahkan pada revisi UU KY, tapi karena ada kaitan dengan UU MK dan Kehakiman, kita lakukan kajian,” katanya.
Dia menyatakan ke depan ada tiga kemungkinan yang akan diambil oleh Baleg untuk membenahi UU KY sesuai dengan kebutuhan. Kemungkinan itu adalah revisi UU KY yang disesuaikan dengan kebutuhan, revisi UU MK dan revisi Kehakiman secara tersendiri. Khusus untuk pengawasan KY, dalam revisi nanti akan diatur secara perinci untuk menghindari adanya multitafsir. “Atau mungkin tiga-tiganya sekaligus karena saling terkait. Jadi, ini revisi terhadap UU yudikatif,” ujarnya.
Panggil MK dan KY
Menurutnya, revisi terhadap UU MK sendiri akan dilakukan untuk mengembalikan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. MK hanya sebagai penjaga konstitusi.
Dengan demikian, tidak ada sebuah lembaga yang lebih tinggi dari konstitusi itu sendiri. “Demokrasi kita, demokrasi konstitusi. Tidak ada lembaga apapun di atas konstitusi. Jangan sampai ada pergeseran,” paparnya.
Keputusan MK terhadap UU KY sendiri menjadikan dasar Komisi III DPR untuk mengundang KY dan MK masing-masing pada rapat kerja yang berbeda, tanggal 5 September dan MK pada 12 September mendatang.
”Jika tidak ada halangan pada 12 September rapat dengar pendapat dengan MK bisa digelar di DPR,” kata Wakil Ketua Komisi III Djuhad Madja.
Sementara itu, sejumlah akademisi, praktisi praktisi hukum, dan pemerhati masalah hukum tergabung dalam Forum Masyarakat untuk Peradilan Bersih, mendesak DPR merevisi Undang-Undang KY. Desakan sama disurakan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendorong DPR agar memperluas kewenangan KY mengawasi hakim.
”Mahkamah Konstutusi telah menghambat reformasi hukum,” kata Ketua Forum Ervyn Kaffah di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (30/8).
(ant/rikando somba/tutut herlina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar