Mataram
(Suara NTB) –
Secara umum, kemampuan pemerintah daerah se-NTB dalam menyerap
anggaran dinilai masih rendah. Masalahnya bukan pada tidak tersedianya
anggaran, tata kelolanya yang masih lemah,
khususnya soal pengendalian realisasi belanja.
Sekjen FITRA NTB, Ervyn Kaffah,
menyimpulkan hal itu setelah memaparkan data-data berbasis realisasi pendapatan
dan belanja tiga tahun terakhir (tahun 2012, 2013, 2014). Menurutnya, data
realisasi pada tiga tahun terakhir itu menunjukkan bahwa umumnya semua Pemda
tidak siap belanja. Padahal, dari sisi
pendapatan dana telah tersedia. “Hal ini berakibat setiap kuartal anggaran,
jumlah dana Pemerintah yang mengendap di kas daerah dan giro bank milik Pemda
mencapai Rp. 1,5 sampai Rp 2 triliun,” sebutnya.
Pada triwulan pertama, secara
keseluruhan 11 Pemda se-NTB (termasuk Pemprov NTB) rata-rata telah memperoleh
pendapatan mencapai 28 persen dari target. Namun realisasi anggaran belanja
rata-rata hanya mencapai 13 persen. Terdapat selisih sekitar 15 persen anggaran
sesuai target pendapatan dalam kas daerah seluruh Pemda yang tidak dibelanjakan
sampai Bulan Maret setiap tahunnya.
“Artinya, pada triwulan I ada
sekitar 13 persen dana mengendap dalam kas daerah atau disimpan dalam bentuk giro
di bank,” ujarnya.
Ervyn mengemukakan, tren ini tetap
terjadi setiap kuartal anggaran.
Celakanya, semakin mendekati akhir tahun anggaran, jumlah dana yang mengendap
di kocek daerah akibat tidak sanggup dibelanjakan secara efektif oleh Pemda
malah kian besar.
Ia menambahkan, di triwulan kedua,
umumnya pendapatan sudah berada pada titik 49 persen namun realisasi belanja
baru 34 persen. Dana mengendap pun kian bengkak, mencapai 15 persen. Sementara
sampai akhir triwulan ketiga, dana mengendap mencapai 18 persen dengan
realisasi belanja rata-rata hanya 57 persen. Padahal pendapatan telah
terealisasi hingga 75 persen.
Sebagai ilustrasi, untuk Pemprov
NTB dengan total pendapatan sekitar Rp 2,9 triliun, sampai bulan Maret
realisasi pendapatannya sudah mencapai 25 persen atau senilai Rp 725 miliar. Namun
yang mampu diserap dalam belanja hanya sekitar 12 persen, atau ada dana
mengendap sekitar Rp. 350 miliar hingga Akhir Maret.
“Situasi ini menunjukkan bahwa
pada setiap Pemda di NTB dihadapkan pada problem bagaimana mempercepat
akselerasi belanja. Sementara factor jadwal transfer anggaran dari pusat ke
daerah sementara ini bisa dikeluarkan dari variabel analisa, karena kurang signifikan.”
Ervyn menggarisbawahi adanya
sejumlah aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian Pemda di NTB. Antara
lain, perlunya menilai dan menyusun proyeksi aliran dana belanja yang jauh
lebih maju dengan mempertimbangkan tren realisasi pendapatan yang terjadi.
“Pada sisi ini, koordinasi antara pejabat
yang mengurus “kantor keuangan” dengan pejabat yang mengurus “kantor program”
perlu lebih ditingkatkan,” imbaunya.
Ia juga mengingatkan perlunya meningkatkan
kapasitas pengendalian realisasi belanja daerah, agar sesuai target yang
ditentukan. Caranya, dengan meningkatkan kapasitas SDM maupun mengembangkan
instrumen pengendalian yang lebih memadai sesuai karakteristik di masing-masing
daerah.
Selain itu, perbaikan proses
pengambilan keputusan terkait pelaksanaan belanja juga perlu dilakukan. “Agar
ada kejelasan mengenai siapa yang harus mengambil keputusan dan tindakan segera
jika dibutuhkan dan mekanisme koordinasinya dengan jajaran lainnya dan pimpinan,”
pungkasnya. (aan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar