Mataram (Suara NTB) –
Sejumlah daerah dengan kepala
daerah yang baru dilantik, memiliki pekerjaan rumah ekstra untuk menekan
belanja pegawai mereka. Kabupaten Bima, Lombok Tengah, Kota Bima, Kota Mataram
serta Kabupaten Dompu memiliki rasio belanja pegawai diatas 60 persen terhadap
total belanja daerah.
Sekjen FITRA NTB Ervyn Kaffah,
Jumat kemarin menyebutkan, dari 10 kabupaten/kota di NTB, Kabupaten Bima
memiliki rasio belanja pegawai tertinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI yang diolah FITRA, pada 2015,
kabupaten di ujung timur NTB ini mencatatkan rasio belanja pegawai yang
mencapai 64,1 persen dari total belanja daerah.
Di posisi kedua, Kabupaten Lombok
Tengah dengan rasio belanja pegawai mencapai 63,9 persen dari total belanja
daerah mereka. Kota Bima berada di tempat ketiga dengan rasio belanja pegawai
63,2 persen. Kota Mataram ada di posisi ke empat dengan rasio belanja pegawai
62,7 persen dan Dompu berada di tempat ke lima dengan 60,8 persen rasio belanja
pegawai.
“Mereka bisa digolongkan daerah
bangkrut karena sebagian besar anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai
sementara kue pembangunan yang diterima public hanya sisa-sisanya saja,” sebut
Ervyn. Kecuali Kota Bima, daerah-daerah dengan belanja pegawai terbesar itu,
baru saja memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah baru.
Ervyn menegaskan, tekanan terberat
memang dihadapi oleh pemimpin baru di Kabupaten Bima sebagai daerah dengan
rasio belanja pegawai terbesar di NTB, mencapai 64,1 persen dari total belanja.
“Hal ini lebih diperburuk oleh situasi nampak jelas ada pemborosan belanja
pegawai pada komponen belanja langsung yang sangat jauh di atas rata-rata angka
provinsi,” ujar Ervyn.
Pekerjaan rumah juga dihadapi oleh
Bupati Lombok Tengah, H.M. Suhaili, FT, SH yang belanja pegawainya mencapai
63,9 persen dari total belanja daerah. “Di daerah ini, besar belanja pegawai
bahkan melampaui DAU dari pusat, sekitar 104 persen kali DAU,” sebut Ervyn.
Ia menambahkan, karena belanja
pegawai yang membengkak itu, untuk menutupi agar belanja modal masih bisa naik,
daerah ini lantas berhutang. Situasi umumnya menunjukkan tiap tahun daerah ini
tersandera hutang karena harus membayar pokok dan bunga hutang.
“Secara umum, akibat belanja pegawai
yang menghabiskan anggaran itu, belanja modal untuk penyediaan infrastruktur
dasar menjadi tergerus. Ledakan belanja pegawai berbanding lurus dengan
minimnya belanja public,” ujar Ervyn.
Ervyn menyebutkan, Kabupaten Bima
(13,6 persen), Lombok Tengah (13,6 persen) dan Dompu (16 persen) adalah daerah
yang memiliki belanja modal paling rendah. Padahal, idealnya belanja modal
berada pada kisaran 35 persen dari total
belanja daerah. “Agenda kedua, bagaimana meningkatkan belanja modal paling tidak
di titik 30 persen,” ujarnya.
Ervyn mengaku sangsi dengan
pendekatan koordinasi yang dilakukan Pemprov NTB yang ingin mengurangi
kemiskinan di daerah dengan lebih cepat. Sebab, secara umum struktur umum
anggaran di daerah tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Pada umumnya, disampaikan bahwa
sudah digelontorkan anggaran hingga ratusan miliar untuk menurunkan angka
kemiskinan. Namun, struktur umumnya menunjukkan anggaran yang dialokasikan ke
belanja modal saja cuma belasan persen. “Hanya di Lombok Barat belanja modal
itu di atas 20 persen. Selain itu, dengan pengecualian Kabupaten Lombok Utara
dan KSB yang agak khusus, semua daerah lainnya di bawah 20 persen,”sebut Ervyn.
Ia menyarankan, harus ada
pemikiran bersama kepala daerah se-NTB untuk merubah struktur dasar anggaran di
NTB agar mimpi mengurangi kemiskinan itu benar-benar bisa mulai dibayangkan.
Disini, menurutnya peran Gubernur NTB menjadi
penting. “Yang disebut koordinasi itu salah satunya dimulai dari hulu, ubah
struktur anggarannya, agar jauh lebih member peluang untuk membangun,”
pungkasnya. (aan)
Sumber:
Harian SUARA NTB - Sabtu, 5 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar