Translate

Selasa, 08 Maret 2016

Kepala Daerah Baru Diminta Perhatikan Belanja Pegawai



Mataram (Suara NTB) –
Sejumlah daerah dengan kepala daerah yang baru dilantik, memiliki pekerjaan rumah ekstra untuk menekan belanja pegawai mereka. Kabupaten Bima, Lombok Tengah, Kota Bima, Kota Mataram serta Kabupaten Dompu memiliki rasio belanja pegawai diatas 60 persen terhadap total belanja daerah.
Sekjen FITRA NTB Ervyn Kaffah, Jumat kemarin menyebutkan, dari 10 kabupaten/kota di NTB, Kabupaten Bima memiliki rasio belanja pegawai tertinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI yang diolah FITRA, pada 2015, kabupaten di ujung timur NTB ini mencatatkan rasio belanja pegawai yang mencapai 64,1 persen dari total belanja daerah.
Di posisi kedua, Kabupaten Lombok Tengah dengan rasio belanja pegawai mencapai 63,9 persen dari total belanja daerah mereka. Kota Bima berada di tempat ketiga dengan rasio belanja pegawai 63,2 persen. Kota Mataram ada di posisi ke empat dengan rasio belanja pegawai 62,7 persen dan Dompu berada di tempat ke lima dengan 60,8 persen rasio belanja pegawai.
“Mereka bisa digolongkan daerah bangkrut karena sebagian besar anggaran dihabiskan untuk belanja pegawai sementara kue pembangunan yang diterima public hanya sisa-sisanya saja,” sebut Ervyn. Kecuali Kota Bima, daerah-daerah dengan belanja pegawai terbesar itu, baru saja memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah baru.
Ervyn menegaskan, tekanan terberat memang dihadapi oleh pemimpin baru di Kabupaten Bima sebagai daerah dengan rasio belanja pegawai terbesar di NTB, mencapai 64,1 persen dari total belanja. “Hal ini lebih diperburuk oleh situasi nampak jelas ada pemborosan belanja pegawai pada komponen belanja langsung yang sangat jauh di atas rata-rata angka provinsi,” ujar Ervyn.
Pekerjaan rumah juga dihadapi oleh Bupati Lombok Tengah, H.M. Suhaili, FT, SH yang belanja pegawainya mencapai 63,9 persen dari total belanja daerah. “Di daerah ini, besar belanja pegawai bahkan melampaui DAU dari pusat, sekitar 104 persen kali DAU,” sebut Ervyn.
Ia menambahkan, karena belanja pegawai yang membengkak itu, untuk menutupi agar belanja modal masih bisa naik, daerah ini lantas berhutang. Situasi umumnya menunjukkan tiap tahun daerah ini tersandera hutang karena harus membayar pokok dan bunga hutang.
“Secara umum, akibat belanja pegawai yang menghabiskan anggaran itu, belanja modal untuk penyediaan infrastruktur dasar menjadi tergerus. Ledakan belanja pegawai berbanding lurus dengan minimnya belanja public,” ujar Ervyn.
Ervyn menyebutkan, Kabupaten Bima (13,6 persen), Lombok Tengah (13,6 persen) dan Dompu (16 persen) adalah daerah yang memiliki belanja modal paling rendah. Padahal, idealnya belanja modal berada pada kisaran 35 persen  dari total belanja daerah. “Agenda kedua, bagaimana meningkatkan belanja modal paling tidak di titik 30 persen,” ujarnya.
Ervyn mengaku sangsi dengan pendekatan koordinasi yang dilakukan Pemprov NTB yang ingin mengurangi kemiskinan di daerah dengan lebih cepat. Sebab, secara umum struktur umum anggaran di daerah tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Pada umumnya, disampaikan bahwa sudah digelontorkan anggaran hingga ratusan miliar untuk menurunkan angka kemiskinan. Namun, struktur umumnya menunjukkan anggaran yang dialokasikan ke belanja modal saja cuma belasan persen. “Hanya di Lombok Barat belanja modal itu di atas 20 persen. Selain itu, dengan pengecualian Kabupaten Lombok Utara dan KSB yang agak khusus, semua daerah lainnya di bawah 20 persen,”sebut Ervyn.
Ia menyarankan, harus ada pemikiran bersama kepala daerah se-NTB untuk merubah struktur dasar anggaran di NTB agar mimpi mengurangi kemiskinan itu benar-benar bisa mulai dibayangkan.
Disini, menurutnya peran Gubernur NTB menjadi penting. “Yang disebut koordinasi itu salah satunya dimulai dari hulu, ubah struktur anggarannya, agar jauh lebih member peluang untuk membangun,” pungkasnya.  (aan)
Sumber: Harian SUARA NTB - Sabtu, 5 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar