Translate

Minggu, 07 Juni 2015

OTONOMI DAERAH NUSA TENGGARA BARAT (2)



Ibarat Telur dan Ayam...
Rabu, 30 Juni 2010 | 03:37 WIB 

Oleh Khaerul Anwar dan Edna C Pattisina

Gubernur NTB yang lalu HL Srinata yang terkait kasus korupsi APBD NTB akan dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung, tetapi terus ditunda karena alasan kesehatan. Ervyn Kaffah dari LSM Somasi, misalnya, melihat sosok Gubernur NTB TGH M Zainul Madji cukup terbuka dan maju pikirannya. ”Tapi, karena dia merangkap TGH (tuanku guru), orang jadi takut mengkritisi,” kata Ervyn.


Baik tokoh bangsawan maupun agama masih memainkan otoritas primordial dalam pilkada. Padahal, pilkada diharapkan mampu memfasilitasi rakyat untuk memilih seobyektif mungkin calon-calon yang ada sesuai dengan visi-misinya.


Namun, yang terjadi adalah pertimbangan primordial dan mengandalkan figur. Menurut Ervyn, ini yang harus diubah karena sering kali figur itu tidak berkualitas. Kedua, ketika figur itu berkualitas, ia terikat secara primordial kepada lingkaran pengaruh yang ada di sekitarnya. ”Akibatnya, program tidak ada yang beres, proyek-proyek ditentukan sendiri oleh orang-orang itu untuk kalangan mereka,” kata Ervyn.




KOMPAS.

Dua pemuda itu duduk tertunduk. Mereka tak berani menatap lawan bicaranya. Sekali dua kali, mereka menggeleng kalau ditanya. Yang berbadan kecil, Nas, berumur 24 tahun, sedikit lebih cerewet. Pemuda yang sehari-hari bekerja di penggilingan padi itu bercerita kalau dia lulusan STM bagian otomotif. ”Tidak ada kerja di tempat lain, terpaksa bantu orangtua di penggilingan,” katanya. 
Yang lebih jangkung, setelah dibujuk-bujuk, akhirnya menyebutkan namanya, Yani. Itu pun dengan lirih, nyaris tak terdengar. Ia baru setahun lulus SMA dan sekarang bekerja sebagai buruh angkut di Pelabuhan Bima.
Dua-duanya punya cita-cita. Nas ingin jadi polisi dan Yani ingin jadi pengacara. Sayangnya, cita-cita keduanya harus terhenti sementara. Kamis (10/6), mereka baru saja ditetapkan sebagai tersangka perusakan dan pembakaran Kantor DPD Golkar Kabupaten Bima.
Senin (7/6), tercatat ada enam pemilu kepala daerah (pilkada) di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu Kota Mataram, Kabupaten Bima, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Dompu, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Lombok Utara. Polri telah siaga dengan mendatangkan pasukan Brimob dari Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ada dua kabupaten yang diwaspadai, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Lombok Tengah. Dua daerah ini ”langganan” konflik.
Pada hari pemilihan, sekitar pukul 20.00 di Bima, massa yang tadinya berkumpul di depan rumah seorang calon, bergerak dan mulai melempari rumah seseorang yang diduga anggota salah satu tim sukses. Setelah menyerang Kantor KPU Bima dan melawan polisi dengan parang dan tombak, 200-300 orang bergerak ke Gedung DPD II Partai Golkar. Mereka membakar gedung itu beserta sebuah mobil yang diparkir di depannya.
Kekacauan di Bima sudah bisa diperkirakan. Malam sebelum pilkada diadakan, massa dari calon yang sama, yaitu pasangan Zainul Arifin-Usman, telah mendatangi Kantor KPU. Mereka menduga, terjadi kecurangan berkaitan dengan surat suara yang sudah dicoblos gara-gara ada kotak suara yang disimpan di rumah oknum kepala desa. Hingga pukul 24.00, massa mengepung Kantor KPU Bima dan sempat melempari kaca pintu depan dengan batu dan kursi.
”Saya sudah berusaha jelaskan, surat suara itu jumlahnya pas. Kalau sudah ada yang dicoblos, pas hari pemilihan pasti ketahuan,” kata Nursusilawati dari Divisi Sosialisasi KPU yang sempat dilempar botol berisi batu.
Pilkada di Kabupaten Bima yang dimenangi Ferry Zulkarnain-Syafruddin HM Noor berbuntut panjang. Berhari-hari unjuk rasa massa di Bima menolak pemilu yang disebut mereka curang itu. Isu-isu domestik, seperti ijazah yang tidak jelas asalnya sampai tentang hubungan gelap, anak di luar nikah, menjadi komoditas yang diorasikan saat demonstrasi.
Eskalasi konflik pada tataran akar rumput di Bima menguat seiring dengan pelaksanaan pilkada yang langsung dengan sistem proporsional terbuka. Isu yang diembuskan lawan politik biasanya menyerang personalitas, mengembuskan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta pencemaran nama baik. Demokrasi yang sejatinya adalah pergantian kekuasaan secara damai malah mengkhianati dirinya sendiri dengan adanya konflik horizontal yang terjadi.
”Ah, untuk apa, siapa pun yang menang, paling bagi-bagi proyek ke kalangan mereka saja,” kata Jamal, pengusaha angkutan di Mataram.
Angka partisipasi di Kota Mataram hanya sekitar 40 persen dari total 277.449 warga yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Pilkada di NTB berlangsung relatif lancar dengan beberapa dinamika. Di Kota Mataram, ada saksi di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) yang mengenakan kaus bergambar calon yang didukungnya. Ada juga pemilih yang nyaris dipukuli massa di Dompu, Sumbawa, karena mencoblos dua kali gara-gara namanya ada di dua TPS.
Di Kabupaten Lombok Tengah, peserta pilkada ada sembilan pasang calon, akibatnya harus diadakan pemilu ulang karena tidak ada calon yang mendapat suara di atas 30 persen.
Dalam konferensi pers hitung cepat yang diadakan Lingkaran Survei Indoneia dan Konsultan Citra Indonesia, Senin (7/6) di Mataram, Lombok, disebutkan, suara terbanyak diperoleh calon TGH Gede Sakti dan Ilyas Munir. Masyarakat rupanya kecewa dengan calon petahana (incumbent) sehingga para pemilih beralih kepada sosok yang muda dan dengan rekam jejak bersih dengan slogan perubahan. Adanya latar belakang garis keturunan dengan pendiri Nahdlatul Wathon, organisasi masyarakat terbesar di Lombok, menguatkan posisi kandidat.
Kedewasaan berpolitik masyarakat yang masih dalam proses itu berdampingan dengan perangkat pemilu yang juga masih tertatih-tatih. Nursusilawati bercerita, betapa ia bingung karena data yang tidak cocok antara daftar pemilih yang memilih dan surat suara yang dicoblos. Jumlahnya memang tidak banyak, hanya puluhan. Namun, dalam situasi yang sensitif, hal ini bisa menjadi komoditas politik.

Demokrasi primordial
Proses demokrasi yang masih belajar ini kerap menghasilkan pemimpin yang mengandalkan ikatan primordial dan agama. Tidak heran, para pemimpin terpilih masih didominasi Tuanku Guru Haji (TGH) yang merupakan tokoh agama dan Haji Lalu (HL) yang merupakan keluarga bangsawan.

Gubernur NTB yang lalu HL Srinata yang terkait kasus korupsi APBD NTB akan dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung, tetapi terus ditunda karena alasan kesehatan. Ervyn Kaffah dari LSM Somasi, misalnya, melihat sosok Gubernur NTB TGH M Zainul Madji cukup terbuka dan maju pikirannya. ”Tapi, karena dia merangkap TGH (tuanku guru), orang jadi takut mengkritisi,” kata Ervyn.

Baik tokoh bangsawan maupun agama masih memainkan otoritas primordial dalam pilkada. Padahal, pilkada diharapkan mampu memfasilitasi rakyat untuk memilih seobyektif mungkin calon-calon yang ada sesuai dengan visi-misinya.

Namun, yang terjadi adalah pertimbangan primordial dan mengandalkan figur. Menurut Ervyn, ini yang harus diubah karena sering kali figur itu tidak berkualitas. Kedua, ketika figur itu berkualitas, ia terikat secara primordial kepada lingkaran pengaruh yang ada di sekitarnya. ”Akibatnya, program tidak ada yang beres, proyek-proyek ditentukan sendiri oleh orang-orang itu untuk kalangan mereka,” kata Ervyn.
Ekonomi dan demokrasi memang ibarat telur dan ayam. Mana yang duluan? Di tataran elite terjadi mobilitas kelompok atas nama demokrasi yang ujungnya untuk bagi-bagi proyek. Di akar rumput, para pemuda, seperti Nas dan Yani, demokrasi menjadi pepesan kosong untuk perut lapar karena yang mereka butuhkan adalah lapangan pekerjaan dan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar