Kamis, 12 Maret 2015
Mataram, Garda Asakota.-
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) berniat akan memberi jatah Rp1 Triliun kepada setiap partai setiap tahun, Minggu (8/3). Saat ini ada 10 Partai Politik, maka kemungkinan uang rakyat akan dipakai untuk membiayai elit partai senilai Rp10 T per tahun. Argumentasi yang diutarakan katanya, bantuan keuangan Parpol ini akan dapat mengurangi korupsi, untuk kaderisasi dan bahkan calon kepala daerah pun akan dibiayai dari bantuan ini.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) berniat akan memberi jatah Rp1 Triliun kepada setiap partai setiap tahun, Minggu (8/3). Saat ini ada 10 Partai Politik, maka kemungkinan uang rakyat akan dipakai untuk membiayai elit partai senilai Rp10 T per tahun. Argumentasi yang diutarakan katanya, bantuan keuangan Parpol ini akan dapat mengurangi korupsi, untuk kaderisasi dan bahkan calon kepala daerah pun akan dibiayai dari bantuan ini.
Menanggapi hal tersebut, Seknas FITRA dan FITRA NTB dengan tegas menolak niatan Mendagri tersebut, dengan alasan bahwa Partai Politik belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN.
Riset Fitra menunjukkan bahwa
penggunaan bantuan keuangan Parpol pada tahun 2010 tidak transparan dan
tidak akuntabel setiap tahunnya.
Dalam pandangan FITRA, perangkat
transparansi dan akuntabilitas partai biasanya masih rendah karena,
bendahara partai biasanya hanya berfungsi sebagai “kasir”, tanpa
pencatatan keuangan yang jelas. Laporan penggunaan keuangan dari APBN
tidak sesuai dengan peruntukan. “Contoh, harusnya untuk pendidikan
politik, bantuan APBD justru habis untuk operasional kantor,” ungkap
FITRA NTB dalam siaran persnya yang diterima redaksi Garda Asakota.
FITRA
menilai pencatatan keuangan Parpol masih bersifat tradisional, belum
sesuai standar Permendagri atau Kantor Akuntan Publik. Terkait
akuntabilitas, sebagaian besar partai politik biasanya terlambat
memberikan pertanggungjawaban kepada Kemendagri sehingga semakin
mempersulit proses audit yang akan dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Mekanisme audit masih melalui pengguna anggaran
yaitu Kemendagri, BPK tidak bisa langsung Mengaudit parpol, dan partai
juga belum mempunyai Petugas Pengelola Informasi dan Data (PPID) sesuai
dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 sehingga
sangat sulit untuk mengaudit dana parpol dari APBN. Rencana alokasi
tanpa perhitungan kursi justru dinilai FITRA NTB membuat partai ‘malas’
bekerja untuk rakyat.
Rencana pukul rata, Rp1 triliun setiap partai
bertentangan dengan prinsip ketidakadilan sesuai dengan perolehan suara.
Selain itu, hal ini dapat menjadikan partai politik malas bekerja untuk
rakyat, toh setiap tahun mendapat alokasi anggaran dari APBN.
Hal
ini juga akan memicu lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya
sebagai penadah bantuan keuangan parpol dari APBN. Oligharki Parpol di
Indonesia saat ini masih kuat, Tanpa Demokratisasi, transparansi dan
akuntabilitas tidak akan terbangun. Sehingga, bukannya meminimalisis
korupsi, anggaran selangit senilai Rp1 triliun tidak akan efektif
sebagai cara meminimalisir korupsi. Potensi ini sangat kuat karena,
mekanisme kerja, pencatatan keuangan dan mekanisme audit secara internal
pun tidak dimiliki oleh partai. “Dikhawatirkan justru, jatah dari APBN
ini akan menjadi bancakan elit parpol,” duga FITRA NTB.
Jatah untuk
Parpol Tidak Sesuai dengan Pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Kinerja
Parpol masih buruk. Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran
dari system tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran
menjadi anggaran berbasis kinerja.
Anggaran berbasis kinerja yang
dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya penca
paian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang
ditetapkan. Lalu, dengan kinerja parpol saat ini yang selalu berkonflik,
dan mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri. Jelas tidak layak
mendapatkan jatah yang sangat tinggi.
Kemudian dinilai jatah Rp1
Triliun dari APBN/Partai justru dikhawatirkan akan menjadi bentuk
korupsi baru. Dengan kondisi parpol yang belum mempunyai perangkat
transparansi dan akuntabilitas.
Oleh karena itu, wacana ini dinilai sangat menyakitkan rakyat ditengah krisis pangan dan tingginya harga beras. Padahal dalam APBN 2015 dalam Kementrian Pertanian saja, alokasi untuk cadangan beras pemerintah hanya Rp1,5 triliun.
Oleh karena itu, wacana ini dinilai sangat menyakitkan rakyat ditengah krisis pangan dan tingginya harga beras. Padahal dalam APBN 2015 dalam Kementrian Pertanian saja, alokasi untuk cadangan beras pemerintah hanya Rp1,5 triliun.
Cadangan
Stabilisasi pangan hanya Rp2 triliun dan cadangan stabilitas pangan Rp0.
Hal ini menandakan Pemerintah lebih berpihak pada elit dibandingkan
dengan berpihak pada rakyatnya.
Terkait proses audit oleh BPK,
dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan dimana beberapa anggota BPK
berlatarbelakang partai politik. Hal ini tentu saja akan sangat
mengkhawatirkan dalam level akuntabilitas. Dana yang begitu besar
tentunya akan sulit diaudit apalagi jika auditornya ternyata
berlatarbelakang sebagai partai politik. Jadi, pertanggungjawaban bisa
saja tidak berjalan secara terbuka namun justru cenderung transaksional.
Wacana ini akan memancing daerah melakukan hal yang sama, menaikan
anggaran bantuan sehingga semakin memiskinkan keuangan daerah. Tentu,
wacana DPP akan mendapatkan dana Rp1 Triliun ini akan diikuti oleh
partai di daerah dengan menaikan angka bantuan keuangan untuk partai.
Sehingga dari hal ini kita dapat merasakan bahwa wacana ini sangat
meresahkan.
Lemahnya penegakan hukum terutama KPK yang di
kriminalisasi berakibat pada potensi korupsi yang terjadi akan semakin
tinggi karena hilangnya efek jera. Saat ini, perilaku politisi yang
tersangkut korupsi semakin menggila dengan melakukan proses pra
peradilan terhadap kasusnya.
Nah, jika terjadi korupsi dalam dana
bantuan keuangan parpol maka kemungkinan akan terjadi serangan balik
oleh partai politik kepada penegak hukum. Serangan balik ini karena
untuk mempertahankan citra partai politik sekalipun uang rakyat telah
dikorupsi.
Subsidi untuk parpol merupakan penghianatan atas subsidi
energy yang dipangkas oleh Negara. Dalam APBN P 2015 jelas ada
pemotongan subsidi energi sebesar Rp 186,3 triliun. Sebaliknya, justru
APBN akan dialokasikan untuk subsidi Parpol. Hal ini merupakan
penghiatanan pemerintah kepada rakyat.
Berkaca dari sepuluh (10) alasan diatas maka Seknas FITRA dan Jaringan Nasional menuntut Menteri Dalam Negeri untuk menarik Wacana ini dan mengurungkan niatan memberi jatah Parpol dari APBN yang merupakan keringat rakyat.
Berkaca dari sepuluh (10) alasan diatas maka Seknas FITRA dan Jaringan Nasional menuntut Menteri Dalam Negeri untuk menarik Wacana ini dan mengurungkan niatan memberi jatah Parpol dari APBN yang merupakan keringat rakyat.
“Jika tidak,
hal ini akan sangat meresahkan ditengah harga bahan pokok yang tinggi
dan harga beras yang tidak terjangkau oleh rakyat,”. Demikian siaran
Pers FITRA NTB sebagaimana disampaikan oleh, Yenny Sucipto (Sekjen
Seknas FITRA) HP 081333111446, Apung Widadi (Koord. Advokasi dan
Investigasi) HP: 085293939999, dan Ervyn Kaffah (Direktur FITRA NTB),
HP: 08123727818. (GA. Joni*)
sumber: http://mediagardaasakota.blogspot.com/2015/03/fitra-ntb-tolak-jatah-rp1-t-per-parpol.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar