Translate

Kamis, 08 Oktober 2015

Potret Pengelolaan APBD di NTB, Masih Sama, Besar Pasak daripada Tiang

“Sebagian besar uang negara justru terserap untuk belanja aparatur. Masyarakat hanya mendapatkan ‘remah’ saja,” ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Ervyn Kaffah mewakili tim penyusun Booklet tersebut, Selasa (6/10) kemarin.
 

Ervyn menilai, kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan. Padahal, di satu sisi, angka kemiskinan masih cukup tinggi. Pengangguran, angka putus sekolah, kondisi infrastruktur yang buruk masih menjadi pemandangan umum saban tahun.............................................


Uang milik rakyat NTB lebih banyak dikeluarkan untuk membiayai aparatur pelaksana pekerjaan ketimbang pekerjaan itu sendiri. Fenomena besar pasak daripada tiang ini membuat sejumlah daerah berada dalam status miskin dari sisi anggaran.


DANA reses DPRD NTB yang naik dari Rp 7,94 miliar pada APBD Murni 2015 menjadi Rp 11,61 miliar pada APBD Perubahan 2015 hanya satu dari sekian banyak item kegiatan aparatur yang mengalami peningkatan.
Selain reses, item anggaran kunjungan kerja dalam daerah untuk pimpinan dan anggota DPRD NTB, juga mengalami kenaikan dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar di APBD Perubahan. Kenaikan sebesar 88,84 persen ini dinilai sangat tidak elok dan belum sepadan dengan kinerja yang diperlihatkan para anggota DPRD NTB.
Tak hanya legislatif, pejabat eksekutif juga seolah tak ingin ketinggalan. Sebelumnya kita juga mendengar sejumlah pejabat eksekutif yang jalan-jalan ke luar negeri dengan dana puluhan juta per orang.
Perlombaan menghabiskan uang rakyat ini membuat rakyat sebagai pemilik dana seolah berada pada posisi kesekian dalam daftar urutan prioritas belanja daerah. Fenomena ini juga diungkap oleh FITRA dalam pengantar Booklet Analisis Makro APBD Pemerintah Daerah di NTB yang diterbitkannya.

“Sebagian besar uang negara justru terserap untuk belanja aparatur. Masyarakat hanya mendapatkan ‘remah’ saja,” ujar Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Ervyn Kaffah mewakili tim penyusun Booklet tersebut, Selasa (6/10) kemarin.
Ervyn menilai, kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan. Padahal, di satu sisi, angka kemiskinan masih cukup tinggi. Pengangguran, angka putus sekolah, kondisi infrastruktur yang buruk masih menjadi pemandangan umum saban tahun.
Kecilnya porsi belanja untuk kepentingan publik terjadi karena belanja APBD lebih banyak dihabiskan untuk belanja pegawai. FITRA menemukan bahwa rata-rata alokasi belanja pegawai di NTB tahun 2015 mencapai 56 persen dari total dana publik yang dikelola pemerintah daerah. Bahkan, ada lima kabupaten/kota mengalokasikan belanja pegawai di atas 60 persen dari total belanja daerah. Daerah seperti inilah yang sering disebut sebagai daerah gagal atau bangkrut. Sebab kue dana pembangunan yang diterima publik hanya sebagian kecil saja dari total belanja APBD.
Buruknya tata kelola keuangan pemerintah daerah di NTB juga terlihat dari analisis yang dilakukan FITRA terhadap ruang fiskal kabupaten/kota di NTB. Di tahun 2015 ini, rata-rata ruang fiskal kabupaten/kota di NTB hanya sebesar 18,1 persen dari total pendapatan daerah.
Dari semua kabupaten/kota, hanya tiga kabupaten/kota yang memiliki ruang fiskal di atas rata-rata provinsi, yaitu KSB (34,1 persen), KLU (33,8 persen), dan Kota Mataram (26,5 persen). Sedangkan tujuh kabupaten/kota lainnya memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata provinsi. Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan ruang fiskal antar daerah.
Ruang fiskal yang cukup besar di KSB, KLU dan Kota Mataram disebabkan rendahnya belanja wajib seperti belanja pegawai. Selain itu, penerimaan PAD juga berkontribusi terhadap peningkatan ruang fiskal daerah, seperti Kota Mataram.
Ketersediaan ruang fiskal yang lebih luas dibandingkan kabupaten/kota lain diharapkan mampu dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan prioritas daerah; yang mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi sektor riil dan meningatkan daya beli masyarakat.
Sementara itu, Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur dan Bima memiliki ruang fiskal di bawah 10 persen atau tiga terendah di NTB. Sempitnya ruang fiskal di ketiga daerah tersebut dikarenakan bengkaknya belanja pegawai dan meningkatnya kewajiban transfer dana desa.
Selain itu, kontribusi PAD juga cenderung stagnan. Alokasi belanja pegawai di tiga kabupaten tersebut masing-masing adalah Lombok Tengah (61,8 persen), Lombok Timur (54,7 persen), dan Kabupaten Bima (58,8 persen). Rasio Belanja Pegawai Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing sebesar 104 persen dan 103 persen.
Dengan kata lain, keseluruhan nominal (DAU) Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur tak cukup untuk membiayai gaji dan tunjangan pegawai.
Dilihat dari aspek ketergantungannya, Kabupaten Lombok Tengah, Dompu, dan Kota Bima memiliki tingkat ketergantungan yang paling tinggi di antara semua kabupaten/kota di NTB. Rasio PAD terhadap total pendapatan daerahnya berada di bawah 9,0 persen, dan rasio dana transfernya berada di atas angka 90 persen. Kota Bima dapat dikatakan sebagai daerah paling miskin di NTB dilihat dari aspek ini. Rasio PAD Kota Bima hanya 4 persen, sementara rasio dana transfernya 95,6 persen atau yang tertinggi di NTB.
Pertanggungjawaban Reses
Plt. Sekretaris DPRD NTB, Mahdi Muhammad, SH MH ditemui di ruangannya, Senin (5/10), menjelaskan naiknya beberapa item anggaran DPRD NTB pada APBD Perubahan itu, disebabkan karena bertambahnya jumlah anggota DPRD NTB. “Kan ada penambahan jumlah anggota, dari periode sebelumnya hanya 55 orang menjadi 65 orang untuk priode 2014-2019.Sehingga pada APBD Perubahan itu terjadi kenaikan,’’ jelasnya.
Terkait kenaikan anggaran untuk kunjungan kerja anggota DPRD NTB itu, Mahdi, hanya menjawab singkat. Menurutnya, karena DPRD NTB memang banyak kegiatan kunjungan kerjanya.
Mahdi juga mengklarifikasi terkait dengan kritik masyarakat atas kenaikan anggaran reses DPRD NTB dalam APBD Perubahan. Menurutnya kenaikan anggaran reses dewan itu, selain karena bertambahnya jumlah anggota Dewan dan bertambahnya jumlah titik yang akan dikunjungi, juga karena dari jadwal reses Dewan yang sudah ditetapkan pada APBD murni hanya dua kali reses. Namun pada APBD Perubahan bertambah menjadi tiga kali masa reses.
‘’Kenaikan anggaran reses itu sudah wajar. Kenapa dia naik, karena yang dianggarkan pada APBD murni hanya dua kali masa reses.Tapi pada APBD Perubahan bertambah menjadi tiga kali reses, sehingga anggaran reses itu otomatis juga ikut naik,’’ terangnya.
Terkait akuntabilitas penggunaan anggaran reses, Mahdi Muhammad mengatakan, anggaran reses DPRD NTB itu akan dipertanggungjawabkan. “Satu rupiah pun uang reses itu akan dipertanggungjawabkan. Nah hasil resesnya itu nanti akan dirapatkan untuk disimpulkan apa saja pokok pikiran reses, dan kemudian akan disampaikan pada rapat paripurna.”
Sementara itu, dari pantauan Suara NTB pada rapat paripurna yang langsung dipimpin Ketua DPRD NTB, Selasa (6/10). Salah satu angendanya adalah penyampaian kesimpulan hasil reses. Menjadi isi kesimpulan hasil reses Dewan yang dibacakan Wakil Ketua DPRD NTB, H. Abdul Hadi, SE MM adalah salah satunya, masalah kekeringan dan kemiskinan. (aan/ndi)

sumber: http://suarantb.co.id/2015/10/06/potret-pengelolaan-apbd-di-ntb-masih-sama-besar-pasak-daripada-tiang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar