Publish Date : 13-03-2014
Ketika iklim keterbukaan informasi semakin menguat, Partai Golkar justru melawan arus. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat sejarah baru, yakni menggugat pemohon informasi. Bagaimana kasus itu bermula? Akankah hal tersebut menjadi preseden buruk bagi gerakan keterbukaan informasi? Berikut laporan Fathul Rakhman dari JPIP.
HARI - hari Suhardi, penggiat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, berubah sejak 13 Januari 2014. Hari itu, DPD Partai Golkar NTB resmi melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Nama Suhardi tercantum sebagai tergugat I, Komisi Informasi Provinsi NTB (KI NTB) sebagai tergugat II, dan Komisi Informasi Pusat (KIP) sebagai tergugat III.
Uniknya, gugatan itu diklaim sebagai bagian dari hak keberatan atas putusan KI yang diatur dalam UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, pada saat yang sama, gugatan tersebut memasuki ranah perdata dan mencantumkan tuntutan ganti rugi Rp 53 juta (kerugian materiil) dan Rp 1 miliar (kerugian imateriil).
Gugatan Golkar berawal dari putusan KI NTB Nomor 014/XII/KI-NTB/PS-A/2013. Putusan yang diteken pada 23 Desember 2013 itu menyatakan bahwa informasi yang diminta Suhardi adalah informasi terbuka. Sebelumnya, penggiat Fitra tersebut meminta informasi laporan keuangan 2011-2012 secara terperinci, baik penerimaan maupun pengeluaran, untuk semua sumber pendanaan. Pihaknya juga meminta neraca keuangan, laporan aktiva kas, dan struktur kepengurusan.
Sejak Agustus 2013, penggiat Fitra NTB memang meminta data serupa ke semua partai politik di provinsi itu. Selain Golkar, permohonan sengketa informasi yang diajukan Fitra ke KI NTB menyeret Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD). Bedanya, PAN dan PD menyerahkan data yang diminta kepada pemohon, meskipun beberapa perincian data belum dimiliki PD.
Karena itu, gugatan Golkar ke PN Mataram seakan menampar wajah para penggiat Fitra. Kegiatan analisis data partai yang tengah berlangsung terganggu gugatan itu. Bagi para penggiat advokasi anggaran di NTB, gugatan terhadap Suhardi menjadi sinyal buruk bagi gerakan keterbukaan informasi.
Sekjen Fitra NTB Ervyn Kaffah menyatakan, putusan KI NTB sebenarnya menegaskan ketentuan dalam UU No 2/2011 tentang Parpol dan UU No 14/2008 tentang KIP. Parpol adalah badan publik yang wajib menyediakan dan memudahkan akses informasi publik. ''Karena data yang diminta untuk tahun yang telah lewat, bisa dikategorikan sebagai informasi yang harus tersedia setiap saat,'' tegasnya.
Namun, kuasa hukum Golkar NTB Usep Syarif Hidayat berpandangan berbeda. Menurut dia, permohonan informasi oleh Suhardi tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didasari iktikad baik. Bahkan, batas waktu keberatan yang diajukannya dianggap kedaluwarsa oleh Golkar. Usep juga mempertanyakan kapasitas Suhardi dan tujuannya meminta informasi dari Golkar.
Pengacara Golkar lainnya, Sri Hayati Ningsih, menuding sidang ajudikasi yang berlangsung cacat prosedur dan tidak kredibel. ''Karena itu, kami menyampaikan gugatan kerugian materiil dan imateriil karena Golkar merasa dirugikan,'' kata pengacara yang cukup terkenal di Mataram itu.
Terkait dengan posisi KIP sebagai tergugat III, Usep menyatakan bahwa KIP diminta memberikan sanksi dan pembinaan kepada KI NTB. Sebab, Usep menduga putusan KI NTB merupakan copy-paste putusan dari Jakarta.
Sementara itu, Komisioner KI NTB Ajeng Roslinda menyatakan, gugatan Golkar sebenarnya salah alamat. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung No 2/2011, seharusnya yang digugat adalah keputusan KI, bukan kelembagaannya. ''Lagi pula, semua hal yang dipertanyakan sudah jelas, termasuk soal KTP pemohon. Rekaman lengkap proses persidangan juga masih kami simpan.''
Kasus gugatan terhadap pemohon informasi dan kelembagaan KI itu juga menarik perhatian Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono. Ketika kasus ini mencuat, KIP langsung memanggil KI NTB. KIP menganalisis kasus tersebut, termasuk membuka semua bukti. Rekaman proses sidang pun dicermati menit per menit. ''Hasil pemeriksaan kami, KI NTB sudah benar. Kualitas putusannya sudah layak,'' tegasnya.
Saat menghadiri workshop JPIP-USAID di Kota Jayapura, Papua, pertengahan Februari lalu, Abdulhamid menyatakan bahwa kasus gugatan Golkar NTB menjadi keprihatinan para penggiat keterbukaan informasi. Kasus tersebut juga menjadi sinyal buruk penerapan UU KIP. Alih-alih memberikan akses informasi, tidak menutup kemungkinan badan-badan publik nanti justru mengancam menggugat pemohon informasi.
Karena itu, secara substansi, KIP menaruh perhatian besar pada gugatan Golkar terhadap Suhardi. Sebab, jika semua warga yang memohon informasi digugat, mental pemohon bisa jatuh. Masyarakat juga akan takut menjadi pemohon informasi karena suatu saat dapat digugat. Padahal, informasi yang diminta bukan informasi perkecualian.
''Bayangkan, semua pemohon nanti digugat. Tidak ada lagi orang yang berani meminta informasi. Ini bisa menjadi pembungkaman terhadap keterbukaan informasi,'' ungkap alumnus Universitas Gadjah Mada itu dengan nada prihatin.
Sebagai partai besar, kata Abdulhamid, Golkar semestinya menjadi contoh untuk partai lainnya dengan memberikan informasi tanpa menunggu masuk ke ranah sengketa informasi. ''Partai Golkar sebagai penerima dana pemerintah wajib untuk melaporkan penggunaan dana itu,'' tegasnya. (www.jpip.or.id)
Penulis : Fathul Rakhman - Sumber : Jawa Pos
sumber: http://akuntabilitas.jpip.or.id/artikelview-335-lampu-kuning-keterbukaan-informasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar