Translate

Minggu, 07 Juni 2015

Berkaca dari Kasus di NTB


SUARA MERDEKA
06 Januari 2010

SEKITAR bulan Maret 2009, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat laporan dari masyarakat Nusa Tenggara Barat mengenai dugaan korupsi berupa aliran dana atau gratifikasi dari PT Bank NTB kepada kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) yang merupakan pemegang saham bank tersebut.

Aliran dana terjadi tahun 2003-2006. Kerugian negara diperkirakan Rp 2 miliar. Sebelum ada laporan itu, jauh hari KPK sebenarnya telah mengkaji kasus sejenis, namun sepertinya belum pernah dipublikasikan. Belakangan ini Bagian Pencegahan KPK mengungkapnya ke publik. Itu pun masih kulit-kulit luarnya. Bagaimana konstruksi kasusnya, belum dibeberkan.

Penelitian yang dilakukan KPK terhadap penerimaan fee atau fasilitas dari BPD tahun 2004-2008, dilakukan di enam wilayah. Fantastis, nilai fee tersebut mencapai Rp 360 miliar. Jumlah itu berasal dari Bank Sumut Rp 53,811 miliar, Bank Jabar Banten Rp 148,287 miliar, Bank Jateng Rp 51,064 miliar, Bank Jatim Rp 71,483 miliar, Bank Kaltim Rp 18,591 miliar, dan Bank DKI Rp 17,075 miliar.

”Dari kajian yang dilakukan, modusnya sama. Indikasinya, hal semacam ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Dari sampel itu saja, sudah sampai segitu jumlahnya,” kata Wakil Ketua KPK M Jasin kepada Suara Merdeka, Selasa (5/1).
 
Dirut Bank Jateng Haryono membantah jumlah yang disebut KPK itu. Menurut dia, pemberian fasilitas mulai terpantau sejak 2002 hingga 2005. Besarannya lebih kurang Rp 38 miliar. Karena tahun 2005 keluar keputusan Bank Indonesia (BI), otomatis pemberian fee tidak dilakukan lagi mulai 2006.

Jasin menegaskan, yang dikaji hanya tahun 2004-2008. Sebelum tahun 2004 tidak termasuk. Fee sebelum tahun itu, tentu memerlukan penelitian lagi.
Apakah setelah ada larangan dari BI, masih terjadi pada tahun-tahun setelah itu? ”Kalau itu tanya saja ke BI, jangan tanya ke KPK,” ujar Jasin.

Jika modus kasus itu di semua wilayah yang menjadi sampel sama, mungkin kita dapat berkaca dari laporan kasus di NTB. Suara Merdeka mendapatkan data mengenai gambaran konstruksi kasus di provinsi tersebut.


Ada tiga persoalan yang dilaporkan ke KPK. Pertama, penyaluran dana honor pembinaan untuk kepala daerah se-NTB/pemegang saham bank. Kedua, penyaluran dana peduli sosial kemasyarakatan PT Bank NTB yang harusnya melalui pemerintah daerah, namun dikirim ke rekening pribadi kepala daerah.
Ketiga, kasus penggunaan dana jasa produksi pengurus bank untuk kepala daerah/pemegang saham bank.

Ada temuan, terdapat masalah dalam penyaluran dana di Bank NTB kepada kepala daerah yang tidak lain merupakan pemegang saham, yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 2 miliar. Dana ini merupakan dana yang berasal dari pos dana operasional, yang berasal dari penggunaan ’’laba bagi’’.

Temuan-temuan tersebut terdiri atas sejumlah dana, meliputi Dana Pembinaan berupa honor pembina Bank NTB minimal senilai Rp169,304 juta dan honor pembina yang dilaporkan sebagai dana taktis senilai Rp 890 juta lebih; serta Dana Peduli Sosial Kemasyarakatan minimal senilai Rp 940,890 juta/tahun, dan Dana Jasa Pengurus dengan nominal yang belum diketahui.

 

SK Direksi

Dana Pembinaan dialokasikan untuk membayar ’’honor pembinaan’’ gubernur/bupati/wali kota sebagai ”pembina” Bank NTB. Dana ini dikeluarkan setiap bulan dengan jumlah bervariasi, dan telah diatur melalui SK Direksi.
Tercatat ada pengeluaran Dana Honor Pembinaan sebesar Rp 1,059 miliar. Dana ini dikucurkan  pada dua periode, yakni periode pertama Oktober 2004-Juni 2005 sebesar Rp 169,304 juta, dan periode kedua Januari-Juni sebesar Rp 890,364 juta.

Dana Honor Pembinaan periode pertama, tercatat bersumber dari dua pos, yakni Pos Pengamanan Aktiva Produktif dan Pos Insentif Penagihan. Dana ini meliputi pengeluaran yang terjadi di kantor pusat maupun di Kantor Cabang Utama Pejanggik November 2004 hingga Juni 2005.

Dana ini biasanya dikeluarkan/diberikan setiap akhir bulan, antara tanggal 24 dan 25. Adapun besarannya, di kantor pusat Rp 11 juta/bulan, sementara di Kantor Cabang Utama Pejanggik dialokasikan Rp 4,5 juta/bulan. Diduga, pengalokasian/pengeluaran dana sejenis patut diduga juga terjadi di sejumlah kantor cabang lainnya di masing-masing kabupaten/kota.

Menyangkut Dana Honor Pembinaan periode kedua, BI sesuai hasil pemeriksaan posisi 30 Juni  2005, sebenarnya telah melarang pengalokasian dana ini karena tidak ada kegiatan pembinaan yang dilakukan, meskipun alokasi dana telah ditetapkan melalui SK Direksi.

Dana tersebut dikeluarkan dengan alasan terkait kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh kepala daerah dalam penagihan kredit macet. Namun BI menyatakan dalam temuan pemeriksaannya bahwa biaya tersebut tidak wajar, karena tidak ada kaitannya dengan kegiatan penagihan kredit bank yang macet.
Setelah larangan oleh BI tersebut, dana tetap dikeluarkan, namun tidak lagi dicatat/dilaporkan sebagai ”honor pembinaan”, melainkan dicatat/dilaporkan sebagai ”dana taktis” direksi bank, pada Pos Dana Presentasi, di nomor rekening: 7.03.14.03.

KPK dalam kasus ini telah mendapat laporan pula mengenai kepala daerah yang menerima Honor Pembinaan dari Bank NTB per periode Oktober 2004 hingga Juni 2005, yang jumlahnya mencapai Rp169.304.000.

Juga ada laporan mengenai dana untuk pemegang saham (kepala daerah) yang menerima Dana Taktis dalam Pos Dana Representasi per Januari-Mei 2006, senilai Rp 890.364.500.

Akibat praktik itu, pemda se-NTB diduga merugi Rp 1,059 miliar, karena mengeluarkan dana yang tidak wajar dan tidak seharusnya dikucurkan oleh bank kepada pejabat.

Itulah gambaran mengenai cara pejabat menerima fee-fee dari BPD, khususnya di NTB.

Wakil Ketua KPK M Jasin mengatakan, terhadap masalah yang tengah dikaji KPK itu, pihaknya akan mengusulkan pelarangan pemberian fee atau fasilitas ke pejabat penyelenggara negara, sebab hal itu berindikasi suap atau gratifikasi. ”Penyelenggara negara tidak boleh menerima uang untuk kepentingan pribadi,” tandasnya.

Karena hal tersebut terjadi di seluruh wilayah, maka pemerintah pusat dan Bank Indonesia harus mengaturnya. Dalam kasus ini KPK masih sebatas menyampaikan imbauan agar ditiadakan dan uang yang telah diterima para pejabat itu dikembalikan.
KPK, kata dia, belum menyentuh ranah pidana. (Yunantyo Adi S-65)

diakses tanggal : 13 Jan 2010; 17:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar