Senin, 13 Juni 2005 | 22:52 WIB
TEMPO Interaktif, Mataram:Anggota DPRD NTB dan sejumlah aktivis LSM di Mataram menolak pembentukan Badan Intelijen Daerah. Alasannya beragam, mulai dari trauma masa lalu hingga membebani Anggaran Belanja Daerah (APBD). "Jika pembentukan Badan Intelijen Daerah membebani keuangan di daerah tentu saya tidak setuju,"kata Lalu Hadi Faishal di Mataram, Senin (13/6) malam.
Menurut Faishal, intelijen itu bukan sesuatu yang baru. Maksudnya, jika dibentuk baru dengan pelbagai
sarana kelengkapan yang ada di daerah, tentu butuh biaya besar. Besarnya anggaran itu terutama biaya
operasional sehari-hari. Mulai dari alat kelengkapan, mobilitas dan sarana penunjang yang lain. "Saya terus
terus khawatir itu nanti akan membebani keuangan daerah,"katanya.
Padahal, sekarang ini di daerah sudah ada lembaga intelijen yang menopang di kepolisian, kejaksaan dan
TNI. Jika kemudian ada dibentuk lagi lembaga intelijen daerah, dikhawatirkan akan terjadi over lapping antara petugas yang ada.
Kedua, lanjut Wakil Ketua DPW PPP NTB ini, pembentukan injelijen daerah juga bisa melahirkan
trauma masyarakat. Dia mencontohkan, di era Orde Baru dahulu, keberadaan intelijen kerap menumbuhkan
ketakutan. Sebab, pola yang diterapkan intelijen di masa itu, lebih condong membungkam orang-orang yang
kritis dan berbeda pendapat. "Pertanyaannya sederhana, apakah polanya akan seperti dahulu? Ini yang harus
dikritisi kawan-kawan. Jadi bagi saya, bukan masalah menolak atau menerima,"kata Faishal.
Keberadaan intelijen sebagaimana diterapkan di masa Orde Baru, modusnya bermacam ragam. Tapi secara teori, intelijen itu memberikan informasi kepada pemerintah. Justru, pola-pola seperti itu kerap disalahgunakan.
"Informasi yang muncul kerap dibelok-belokkan. Ini yang salah,"ujar Faishal.
Penolakan yang sama juga diungkapkan aktivis LSM di Mataram. Menurut Ervyn, salah satu aktivis LSM,
diaktifkannya kembali badan intelijen daerah, sama saja mengulang kembali munculnya rejim Orde Baru jilid
dua. "Ujung-ujungnya adalah kembalinya praktik para-militer,"tegasnya.
Atas munculnya pembentukan badan intelijen daerah, Ervyn bahkan bersiap-siap melakukan mobilisasi
penolakan ke kawan-kawan LSM. Dia yakin, sejumlah aktivis di Pulau Lombok dan Sumbawa, juga akan
menolaknya. "Catat, saya akan memobilisasi jaringan LSM di sini,"kata aktivis yang menggarap isu-isu
anti-korupsi ini.
Bagi Gubernur NTB Lalu Serinata, keberadaan intelijen di daerah itu sudah ada. "Informasi itu, kan penting,"
katanya saat mendampingi kunjungan NyMufidah Yusuf Kalla, di RSU Mataram, Senin (13/6) siang. Yang sekarang terjadi, banyak muncul intel-intel gadungan. "Inikan perlu ada koordinasi yang baik,"katanya.
Sujatmiko
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2005/06/13/05562439/Anggota-DPRD-dan-Aktifis-NTB-Tolak-Intejelen-Daerah
TEMPO Interaktif, Mataram:Anggota DPRD NTB dan sejumlah aktivis LSM di Mataram menolak pembentukan Badan Intelijen Daerah. Alasannya beragam, mulai dari trauma masa lalu hingga membebani Anggaran Belanja Daerah (APBD). "Jika pembentukan Badan Intelijen Daerah membebani keuangan di daerah tentu saya tidak setuju,"kata Lalu Hadi Faishal di Mataram, Senin (13/6) malam.
Menurut Faishal, intelijen itu bukan sesuatu yang baru. Maksudnya, jika dibentuk baru dengan pelbagai
sarana kelengkapan yang ada di daerah, tentu butuh biaya besar. Besarnya anggaran itu terutama biaya
operasional sehari-hari. Mulai dari alat kelengkapan, mobilitas dan sarana penunjang yang lain. "Saya terus
terus khawatir itu nanti akan membebani keuangan daerah,"katanya.
Padahal, sekarang ini di daerah sudah ada lembaga intelijen yang menopang di kepolisian, kejaksaan dan
TNI. Jika kemudian ada dibentuk lagi lembaga intelijen daerah, dikhawatirkan akan terjadi over lapping antara petugas yang ada.
Kedua, lanjut Wakil Ketua DPW PPP NTB ini, pembentukan injelijen daerah juga bisa melahirkan
trauma masyarakat. Dia mencontohkan, di era Orde Baru dahulu, keberadaan intelijen kerap menumbuhkan
ketakutan. Sebab, pola yang diterapkan intelijen di masa itu, lebih condong membungkam orang-orang yang
kritis dan berbeda pendapat. "Pertanyaannya sederhana, apakah polanya akan seperti dahulu? Ini yang harus
dikritisi kawan-kawan. Jadi bagi saya, bukan masalah menolak atau menerima,"kata Faishal.
Keberadaan intelijen sebagaimana diterapkan di masa Orde Baru, modusnya bermacam ragam. Tapi secara teori, intelijen itu memberikan informasi kepada pemerintah. Justru, pola-pola seperti itu kerap disalahgunakan.
"Informasi yang muncul kerap dibelok-belokkan. Ini yang salah,"ujar Faishal.
Penolakan yang sama juga diungkapkan aktivis LSM di Mataram. Menurut Ervyn, salah satu aktivis LSM,
diaktifkannya kembali badan intelijen daerah, sama saja mengulang kembali munculnya rejim Orde Baru jilid
dua. "Ujung-ujungnya adalah kembalinya praktik para-militer,"tegasnya.
Atas munculnya pembentukan badan intelijen daerah, Ervyn bahkan bersiap-siap melakukan mobilisasi
penolakan ke kawan-kawan LSM. Dia yakin, sejumlah aktivis di Pulau Lombok dan Sumbawa, juga akan
menolaknya. "Catat, saya akan memobilisasi jaringan LSM di sini,"kata aktivis yang menggarap isu-isu
anti-korupsi ini.
Bagi Gubernur NTB Lalu Serinata, keberadaan intelijen di daerah itu sudah ada. "Informasi itu, kan penting,"
katanya saat mendampingi kunjungan NyMufidah Yusuf Kalla, di RSU Mataram, Senin (13/6) siang. Yang sekarang terjadi, banyak muncul intel-intel gadungan. "Inikan perlu ada koordinasi yang baik,"katanya.
Sujatmiko
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2005/06/13/05562439/Anggota-DPRD-dan-Aktifis-NTB-Tolak-Intejelen-Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar