Rabu
Wage, 3 Maret 2004
Mataram (Suara NTB)-
Adanya sejumlah protes dan unjuk rasa ke beberapa gedung Dewan di NTB baru-baru ini menandakan kurangnya perhatian wakil-wakil rakyat terhadap pemilihnya. Bahkan, elite politik sekarang lebih memperhatikan kepentingan partai dan dirinya sendiri. Demikian dikatakan Ketua Asosiasi LSM NTB, Ervyn Kaffah, Selasa (2/3) kemarin.
Dalam siaran persnya, Ervyn menyebutkan salah satu contoh penyusunan RAPBD Lombok Tengah yang lebih memperhatikan kebutuhan pejabat dibandingkan memperhatikan pembangunan rakyat. Dimana pada RAPBD Lombok Tengah tahun 2004 ini jumlah dana belanja anggota DPRD Lombok Tengah yang berjumlah 45 orang dialokasikan sebesar Rp 9,817 milyar. Sedangkan dana alokasi untuk pembangunan fisik dan operasional yang dinikmati oleh ratusan ribu rakyat Lombok Tengah yang tersebar di 124 desa dan kelurahan hanya dianggarkan Rp 10 milyar.
Melihat banyaknya anggaran bagi pejabat publik dibandingkan anggaran buat pembangunan, membuat gabungan beberapa LSM dan warga masyarakat Lombok Tengah mendatangi gedung DPRD Lombok Tengah, Sabtu (28/2) lalu untuk mengklarifikasi dan meminta perubahan pada RAPBD yang ada.
Dikatakan Ervyn, Pendapatan Asli daerah (PAD) Lombok Tengah sangat kecil, tetapi dalam mengalokasikan anggaran lebih dari PAD yang diperoleh. Hal itu bisa dianalisis dengan rendahnya penerimaan PAD dari beberapa sektor, salah satunya sektor pariwisata yang sampai sekarang belum mampu bangkit dari keterpurukan.
Jadi, Aliansi 35 LSM di NTB menilai bahwa RAPBD yang diajukan Pemkab Lombok Tengah penuh dengan rekayasa dan berusaha memanipulasi anggaran. Mencermati kecenderungan elite politik dan pejabat pemerintah mementingkan kepentingan dirinya atau golongan, Aliansi LSM, menurut Ervyn, memandang 2 agenda penting yang harus dilaksanakan sebagai dasar untuk mendorong adanya perubahan pada sistem kinerja elite politik di NTB.
Pertama, mendorong demokratisasi politik dengan cara meminimalisir elite-elite politik yang masih berpikiran lama dan berjiwa korup dalam menyusun RAPBD. Elite-elite politik seperti ini, katanya, lebih cenderung menghalangi adanya pembaharuan menuju ke arah perubahan yang signifikan.
Menurut Ervyn Kaffah, perlu adanya dorongan dalam mewujudkan perimbangan keuangan yang lebih adil bagi desa-desa. Dorongan ini bisa dijadikan pijakan bagi proses demokratisasi ekonomi. Selama ini alokasi dana yang tersedia bagi desa baik dari APBN maupun dari APBD propinsi, kabupaten dan kota sangat minim. Kebanyakan dana anggaran dialokasikan untuk keperluan aparatur pelaksana pemerintahan. (ham)
sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/3/3/nt4.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar