Sabtu, 14 November 2009 | 13:24 WIB
TEMPO Interaktif, Mataram - Aktivis lembaga swadaya masyarakat di Mataram mendeklarasikan Posko Pemantauan Peradilan Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (14/11) siang. Deklarasi dibacakan eks-narapidana perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Dwi Safitri.
Deklarasi dihadiri oleh 50 orang aktivis ditambah dosen IAIN Mataram Sri Banun yang juga ketua Muslimat Nahdlatul Ulama NTB dan dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Dr.Anang Husni. Deklarasi Anti-Mafia Kasus dibacakan eks-narapidana perempuan Dwi Safitri yang menjadi korban peradilan di Mataram. Dwi membacakan deklarasi setelah orasi Tuan Guru Haji Hasanain Juwaini (Koordinator Koalisi Pondok Pesanren Anti Korupsi), Kongso Sukoco (Ketua Dewan Kesenian NTB), dan Adhar Hakim (wartawan).
Posko Pemantauan Peradilan NTB di Mataram ini adalah satu di antara sembilan posko yang dibentuk se-Indonesia. Posko lainnya ada di Denpasar, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru, Samarinda, Makassar, dan Kendari.
‘’Juga dilaksanakan pendidikan dasar penyuluh anti-mafia peradilan,’’ kata Koordinator Solidaritas Masyarakat untuk Transpasi (SOMASI) NTB Ervin Kaffah.
Hasanain Juwaini mengingatkan kembali mengenai peradilan yang ditegakkan di zaman khalifah Umar bin Khatab sehingga tidak ada orang berani melanggar hukum. ‘’Penyebab pelaku pelanggaran hukum itu tidak banyak. Jadi kenapa tidak bisa ditangani,’’ ujar dia.
Sedangkan Kongso Sukoco, seorang sutradara teater yang sedang menyiapkan pementasan naskah Setan karya Putu Wijaya, dalam orasinya mengutip setan yang ingin berguru menjadi pahlawan di negeri koruptor, Indonesia. ‘’Menjadi pahlawan di Indonesia itu gampang. Namun saya tidak betah karena jiwa saya kosong,’’ ucap dia.
Pembaca deklarasi adalah Dwi Safitri yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia memiliki suami seorang anggota TNI AU dan pernah khilaf melawan suaminya yang ringan tangan memukulinya. Akibatnya, Dwi dihukum setahun tiga bulan atas dakwaan percobaan pembunuhan setelah ingin membakar kasur dan kemudian dilaporkan suaminya kepada polisi.
‘’Saya setuju adanya posko ini. Banyak perlakukan hukum yang menyimpang,’’ kata Dwi.
SUPRIYANTHO KHAFID
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2009/11/14/063208343/Posko-Pemantau-Peradilan-di-NTB-Dideklarasikan
TEMPO Interaktif, Mataram - Aktivis lembaga swadaya masyarakat di Mataram mendeklarasikan Posko Pemantauan Peradilan Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (14/11) siang. Deklarasi dibacakan eks-narapidana perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, Dwi Safitri.
Deklarasi dihadiri oleh 50 orang aktivis ditambah dosen IAIN Mataram Sri Banun yang juga ketua Muslimat Nahdlatul Ulama NTB dan dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Dr.Anang Husni. Deklarasi Anti-Mafia Kasus dibacakan eks-narapidana perempuan Dwi Safitri yang menjadi korban peradilan di Mataram. Dwi membacakan deklarasi setelah orasi Tuan Guru Haji Hasanain Juwaini (Koordinator Koalisi Pondok Pesanren Anti Korupsi), Kongso Sukoco (Ketua Dewan Kesenian NTB), dan Adhar Hakim (wartawan).
Posko Pemantauan Peradilan NTB di Mataram ini adalah satu di antara sembilan posko yang dibentuk se-Indonesia. Posko lainnya ada di Denpasar, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru, Samarinda, Makassar, dan Kendari.
‘’Juga dilaksanakan pendidikan dasar penyuluh anti-mafia peradilan,’’ kata Koordinator Solidaritas Masyarakat untuk Transpasi (SOMASI) NTB Ervin Kaffah.
Hasanain Juwaini mengingatkan kembali mengenai peradilan yang ditegakkan di zaman khalifah Umar bin Khatab sehingga tidak ada orang berani melanggar hukum. ‘’Penyebab pelaku pelanggaran hukum itu tidak banyak. Jadi kenapa tidak bisa ditangani,’’ ujar dia.
Sedangkan Kongso Sukoco, seorang sutradara teater yang sedang menyiapkan pementasan naskah Setan karya Putu Wijaya, dalam orasinya mengutip setan yang ingin berguru menjadi pahlawan di negeri koruptor, Indonesia. ‘’Menjadi pahlawan di Indonesia itu gampang. Namun saya tidak betah karena jiwa saya kosong,’’ ucap dia.
Pembaca deklarasi adalah Dwi Safitri yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia memiliki suami seorang anggota TNI AU dan pernah khilaf melawan suaminya yang ringan tangan memukulinya. Akibatnya, Dwi dihukum setahun tiga bulan atas dakwaan percobaan pembunuhan setelah ingin membakar kasur dan kemudian dilaporkan suaminya kepada polisi.
‘’Saya setuju adanya posko ini. Banyak perlakukan hukum yang menyimpang,’’ kata Dwi.
SUPRIYANTHO KHAFID
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2009/11/14/063208343/Posko-Pemantau-Peradilan-di-NTB-Dideklarasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar