Mataram (Bali Post)
Setelah dugaan korupsi APBD yang menetapkan 12 tersangka anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPRD NTB tahun 2001-2002 diungkap, kini kembali dibongkar episode II dugaan korupsi di lembaga yang sama. Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak), sebuah LSM di NTB, menemukan adanya indikasi penyimpangan APBD NTB tahun 2003 yang diperkirakan merugikan negara Rp 8,689 milyar.
Dugaan terjadinya penyimpangan keuangan negara tersebut, secara resmi dilaporkan Gerak NTB Selasa (22/2) kemarin ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB. Koordinator Gerak, Ervyn Kaffah dalam laporannya, menyebutkan dugaan terjadinya penyimpangan APBD NTB tahun 2003 berdasarkan audit BPK dan menemukan sejumlah kejanggalan yang patut diduga terjadinya korupsi.
Disebutkan, dari hasil audit BPK yang diharapkan bisa ditindaklanjuti Kejati NTB yakni menyangkut penggunaan dana pengeluaran tak tersangka sebesar Rp 2,5 milyar. Dana tersebut digunakan untuk membiayai rangkaian kegiatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB periode 2003-2008 dan kelebihan pembayaran honor Panitia Khusus Pemilihan Gubernur dan Wagub NTB sebesar Rp 505,27 juta.
Terkait persoalan ini menurut Ervyn, pihak ekskutif dan legislatif saat itu sengaja tidak menganggarkan pada pos DPRD NTB melalui APBD tahun 2003, melainkan diambil langsung dari Pos Pengeluaran Tak Tersangka. Kenapa hal itu terjadi? Hal itu disebabkan Keputusan Gubernur NTB periode 1998-2003 yang waktu itu dijabat Drs. Harun Al Rasyid mengabulkan permohonan Ketua DPRD NTB periode 1999-2003 Drs. H.L. Serinata (sekarang Gubernur NTB) untuk membebankan biaya rangkaian kegiatan pemilihan gubernur dan wagub periode 2003-2008 seebsar Rp 2,5 milyar ke dalam pos Pengeluaran tak Tersangka APBD tahun 2003.
Menurut Ervy, hal itu sebuah penyimpangan. Dalam penggunaan Pengeluaran Tak Tersangka, Gubernur NTB waktu itu Harun Al Rasyid tidak berpedoman pada PP No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada pasal 12 disebutkan bahwa syarat syarat penggunaan pos pengeluaran tak tersangka, digunakan untuk hal hal yang sifatnya darurat untuk kepentingan pelayanan masyarakat yang dananya belum dianggarkan.
Dari hasil investigasi Gerak, dana Rp 2,5 milyar ditemukan Rp 600,54 juta dibagikan kepada pegawai Sekretariat DPRD dan anggota DPRD NTB dalam bentuk honor panitia khusus pemilihan gubernur dan wagub NTB yang bersarnya antara Rp 2,35 juta- Rp 11,9 juta per orang per bulan. ''Dalam pos ini, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 500,27 juta,'' sebutnya.
Kemudian penunjang operasional kepala daerah Rp 900 juta yang telah direalisasikan seluruhnya, melebihi ketentuan yang berlaku. Dalam PP No. 109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal 9 ayat 1 huruf d disebutkan, besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah ditetapkan berdasarkan klasifikasi PAD yaitu di atas Rp 100 milyar - Rp 250 milyar, paling rendah Rp 750 juta dan tertinggi 0,40 persen dan PAD.
Dengan nilai PAD NTB waktu itu hanya Rp 130,281 milyar, seharusnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah minimal Rp 750 juta. ''Namun yang digunakan Rp 900 juta sehingga terjadi pemborosan yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara Rp 150 juta,'' sebutnya.
Masih banyak pos penggunaan dana yang dinilai oleh Gerak tidak logis. Laporan Gerak Selasa (22/2) kemarin diterima Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Maryadi IK. S.H. Kepada wartawan Maryadi menjelaskan laporan Gerak akan ditindaklanjuti Kejati NTB sesuai mekanisme yang berlaku. (049)
sumber: http://groups.yahoo.com/neo/groups/propinsi_sumbawa/conversations/topics/3889
Setelah dugaan korupsi APBD yang menetapkan 12 tersangka anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPRD NTB tahun 2001-2002 diungkap, kini kembali dibongkar episode II dugaan korupsi di lembaga yang sama. Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak), sebuah LSM di NTB, menemukan adanya indikasi penyimpangan APBD NTB tahun 2003 yang diperkirakan merugikan negara Rp 8,689 milyar.
Dugaan terjadinya penyimpangan keuangan negara tersebut, secara resmi dilaporkan Gerak NTB Selasa (22/2) kemarin ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB. Koordinator Gerak, Ervyn Kaffah dalam laporannya, menyebutkan dugaan terjadinya penyimpangan APBD NTB tahun 2003 berdasarkan audit BPK dan menemukan sejumlah kejanggalan yang patut diduga terjadinya korupsi.
Disebutkan, dari hasil audit BPK yang diharapkan bisa ditindaklanjuti Kejati NTB yakni menyangkut penggunaan dana pengeluaran tak tersangka sebesar Rp 2,5 milyar. Dana tersebut digunakan untuk membiayai rangkaian kegiatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB periode 2003-2008 dan kelebihan pembayaran honor Panitia Khusus Pemilihan Gubernur dan Wagub NTB sebesar Rp 505,27 juta.
Terkait persoalan ini menurut Ervyn, pihak ekskutif dan legislatif saat itu sengaja tidak menganggarkan pada pos DPRD NTB melalui APBD tahun 2003, melainkan diambil langsung dari Pos Pengeluaran Tak Tersangka. Kenapa hal itu terjadi? Hal itu disebabkan Keputusan Gubernur NTB periode 1998-2003 yang waktu itu dijabat Drs. Harun Al Rasyid mengabulkan permohonan Ketua DPRD NTB periode 1999-2003 Drs. H.L. Serinata (sekarang Gubernur NTB) untuk membebankan biaya rangkaian kegiatan pemilihan gubernur dan wagub periode 2003-2008 seebsar Rp 2,5 milyar ke dalam pos Pengeluaran tak Tersangka APBD tahun 2003.
Menurut Ervy, hal itu sebuah penyimpangan. Dalam penggunaan Pengeluaran Tak Tersangka, Gubernur NTB waktu itu Harun Al Rasyid tidak berpedoman pada PP No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada pasal 12 disebutkan bahwa syarat syarat penggunaan pos pengeluaran tak tersangka, digunakan untuk hal hal yang sifatnya darurat untuk kepentingan pelayanan masyarakat yang dananya belum dianggarkan.
Dari hasil investigasi Gerak, dana Rp 2,5 milyar ditemukan Rp 600,54 juta dibagikan kepada pegawai Sekretariat DPRD dan anggota DPRD NTB dalam bentuk honor panitia khusus pemilihan gubernur dan wagub NTB yang bersarnya antara Rp 2,35 juta- Rp 11,9 juta per orang per bulan. ''Dalam pos ini, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 500,27 juta,'' sebutnya.
Kemudian penunjang operasional kepala daerah Rp 900 juta yang telah direalisasikan seluruhnya, melebihi ketentuan yang berlaku. Dalam PP No. 109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal 9 ayat 1 huruf d disebutkan, besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah ditetapkan berdasarkan klasifikasi PAD yaitu di atas Rp 100 milyar - Rp 250 milyar, paling rendah Rp 750 juta dan tertinggi 0,40 persen dan PAD.
Dengan nilai PAD NTB waktu itu hanya Rp 130,281 milyar, seharusnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah minimal Rp 750 juta. ''Namun yang digunakan Rp 900 juta sehingga terjadi pemborosan yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara Rp 150 juta,'' sebutnya.
Masih banyak pos penggunaan dana yang dinilai oleh Gerak tidak logis. Laporan Gerak Selasa (22/2) kemarin diterima Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Maryadi IK. S.H. Kepada wartawan Maryadi menjelaskan laporan Gerak akan ditindaklanjuti Kejati NTB sesuai mekanisme yang berlaku. (049)
sumber: http://groups.yahoo.com/neo/groups/propinsi_sumbawa/conversations/topics/3889
Tidak ada komentar:
Posting Komentar