25-Jan-2010 | Ditulis Oleh: Media Indonesia
PELAN tapi pasti, adanya berbagai penyetoran upeti yang dilakukan bank pemerintah daerah (BPD) ke sejumlah pejabat daerah mulai terkuak. Meski sudah diketahui dan diharamkan oleh Bank Indonesia (BI), praktik penyetoran upeti ternyata tetap berlangsung. Hanya namanya yang diubah supaya terlihat samar.
Seperti yang ditemukan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat (NTB). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu masih menunggu langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan aliran dana haram yang masih berlangsung di BPD yang sekarang berubah nama menjadi Bank NTB, yang mencapai Rp9,5 miliar lebih.
Selama kurun waktu 2004-2008, Somasi menemukan dugaan aliran upeti miliaran rupiah yang masuk ke kantong kepala daerah, misalnya honor pembina dengan jumlah sebesar Rp'1,329 miliar. Belum lagi upeti yang diembel-embeli dengan nama lain guna menyamarkannya, seperti dana peduli sosial kemasyarakatan (dana PSK) dengan jumlah sebesar Rp8,19 miliar dan dana jasa produksi pengurus dengan nominal yang belum diketahui.
"Praktik pemberian upeti itu dimulai 2004. Asal-muasalnya dari keputusan para pemegang saham, yakni para kepala daerah se-NTB yang memberikan wewenang kepada Komisaris Bank NTB untuk menunjuk pembina/ penasihat bank/' kata Ervyn Kaffah, Koordinator Badan Pekerja Somasi, akhir pekan lalu.
la merujuk pada hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bank NTB pada 29 Mei 2004, yang menyebutkan penunjukan dewan pembina bank, yang beranggotakan para kepala daerah se-NTB,yaitu Gubernur NTB dan seluruh bupati/wali kota saat itu, yang juga adalah wakil pemda masing-masing sebagai pemilik saham.
Belakangan sebut Ervyn, pihak BI, sesuai hasil pemeriksaannya pada 30 Juni 2005, telah melarang adanya pengalokasian dana tersebut. Alasan BI adalah biaya tersebut tidak wajar karena tidak ada kaitannya dengan kegiatan penagihan kredit bank yang macet.
N a m u n, s a m b u n g n y a, meski BI telah mengeluarkan larangan, upeti tetap mengalir hanya tidak lagi dicatat atau dilaporkan sebagai honor pembina, tetapi dilaporkan sebagai dana taktis direksi bank, pada pos dana representasi (norek 7.03.14.03).
Hingga saat ini, baru Bupati Lombok Tengah HL Wiratm-aja yang secara terang-terangan membenarkan dirinya pernah dikirimi dana tersebut dengan nilai Rpl80 juta. Namun, ia mengaku telah menyetorkannya kembali ke kas daerah. "Sejak awal saya memang ragu dengan dana yang masuk ke rekening saya sehingga saya mengembalikannya seutuhnya ke kas daerah," kata Wiratmaja.
Komentar Gubernur NTB Zainul Majdi juga tidak kalah kerasnya. "Kita anggap rekening itu adalah rekening siluman, lalu silumannya kita bungkus ke karung dan kita buang ke laut," katanya.
Sayangnya hingga saat ini, langkah KPK dan Kejari NTB untuk mengusut kasus ini tidak jelas. (YR/P-4)
sumber: http://puspen.setjen.kemendagri.go.id/index.php/news/read/1171/function.mysql-connect#.UjQAh38tDFU
PELAN tapi pasti, adanya berbagai penyetoran upeti yang dilakukan bank pemerintah daerah (BPD) ke sejumlah pejabat daerah mulai terkuak. Meski sudah diketahui dan diharamkan oleh Bank Indonesia (BI), praktik penyetoran upeti ternyata tetap berlangsung. Hanya namanya yang diubah supaya terlihat samar.
Seperti yang ditemukan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat (NTB). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu masih menunggu langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan aliran dana haram yang masih berlangsung di BPD yang sekarang berubah nama menjadi Bank NTB, yang mencapai Rp9,5 miliar lebih.
Selama kurun waktu 2004-2008, Somasi menemukan dugaan aliran upeti miliaran rupiah yang masuk ke kantong kepala daerah, misalnya honor pembina dengan jumlah sebesar Rp'1,329 miliar. Belum lagi upeti yang diembel-embeli dengan nama lain guna menyamarkannya, seperti dana peduli sosial kemasyarakatan (dana PSK) dengan jumlah sebesar Rp8,19 miliar dan dana jasa produksi pengurus dengan nominal yang belum diketahui.
"Praktik pemberian upeti itu dimulai 2004. Asal-muasalnya dari keputusan para pemegang saham, yakni para kepala daerah se-NTB yang memberikan wewenang kepada Komisaris Bank NTB untuk menunjuk pembina/ penasihat bank/' kata Ervyn Kaffah, Koordinator Badan Pekerja Somasi, akhir pekan lalu.
la merujuk pada hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bank NTB pada 29 Mei 2004, yang menyebutkan penunjukan dewan pembina bank, yang beranggotakan para kepala daerah se-NTB,yaitu Gubernur NTB dan seluruh bupati/wali kota saat itu, yang juga adalah wakil pemda masing-masing sebagai pemilik saham.
Belakangan sebut Ervyn, pihak BI, sesuai hasil pemeriksaannya pada 30 Juni 2005, telah melarang adanya pengalokasian dana tersebut. Alasan BI adalah biaya tersebut tidak wajar karena tidak ada kaitannya dengan kegiatan penagihan kredit bank yang macet.
N a m u n, s a m b u n g n y a, meski BI telah mengeluarkan larangan, upeti tetap mengalir hanya tidak lagi dicatat atau dilaporkan sebagai honor pembina, tetapi dilaporkan sebagai dana taktis direksi bank, pada pos dana representasi (norek 7.03.14.03).
Hingga saat ini, baru Bupati Lombok Tengah HL Wiratm-aja yang secara terang-terangan membenarkan dirinya pernah dikirimi dana tersebut dengan nilai Rpl80 juta. Namun, ia mengaku telah menyetorkannya kembali ke kas daerah. "Sejak awal saya memang ragu dengan dana yang masuk ke rekening saya sehingga saya mengembalikannya seutuhnya ke kas daerah," kata Wiratmaja.
Komentar Gubernur NTB Zainul Majdi juga tidak kalah kerasnya. "Kita anggap rekening itu adalah rekening siluman, lalu silumannya kita bungkus ke karung dan kita buang ke laut," katanya.
Sayangnya hingga saat ini, langkah KPK dan Kejari NTB untuk mengusut kasus ini tidak jelas. (YR/P-4)
sumber: http://puspen.setjen.kemendagri.go.id/index.php/news/read/1171/function.mysql-connect#.UjQAh38tDFU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar